robotics-university.com | Serempak wajah-wajah polos itu seolah tak percaya. Satu dua dari mereka memberanikan diri bertanya. Mereka adalah anak-anak sebuah sekolah dasar ternama di Surabaya. Dan peristiwa ini terjadi ketika pertama kali saya perkenalkan robot di kelasnya.
Respon seperti itu bukan sesuatu yang aneh bagi saya. Karena seperti itu juga reaksi saya ketika seorang dosen memperkenalkan robot di kelas yang saya ikuti, sembilan tahun lalu. Dua tahun setelah itu, saya benar-benar ‘mengendarai’ robot pada sebuah perlombaan bergengsi, International Robot Contest di Osaka – Jepang. Saya di sana sebagai anggota tim yang mewakili Indonesia. Kami memang tidak meraih juara karena hanya mampu mengalahkan tim Amerika yang robotnya tidak kuat berjalan. Sementara robot kami hanya mampu menendang satu dari lima bola rugby ke gawang. Itupun meleset. Bola itu adalah satu-satunya persembahan kami sesaat sebelum robot rusak. Kerusakan yang disebabkan dia ‘terpaksa’ kami buat dengan barang rongsokan pada beberapa bagian. Waktu itu, terlalu mahal harga sebuah motor DC yang lengkap dengan gearboxnya selain cukup sulit juga mencarinya. Pengalaman ini membuka paradigma baru cara pandang saya terhadap teknologi.
Itulah yang kemudian membawa saya berada di sebuah kelas sekolah dasar untuk mengajak anak-anak bermain-main dengan teknologi pada Oktober 2001 yang lalu. Ada harapan besar dalam benak saya untuk mengakrabkan iptek kepada mereka. Setidaknya, mereka tidak terlambat untuk bengong begitu mendengar kata robot.
Lalu mengapa mereka harus melalui tahapan terheran-heran sebagaimana saya dulu? Mungkin juga sebagian besar masyarakat kita. Saya bawakan mobil-mobilan battery-powered yang bisa dikendalikan dan saya katakan kepada mereka inilah robot. Kemudian saya sebutkan peralatan rumah tangga seperti mesin cuci dan kipas angin yang mempunyai timer dan bisa ‘menoleh’ ke kiri dan kanan. Itulah robot. Atau pemanggang roti yang bisa mengeluarkan roti begitu matang. Itu juga robot. Bukankah robot itu seperti manusia atau binatang? Sanggah mereka. Tentu saja mereka tak salah.
Tetapi selama anak-anak kita masih berpikir bahwa robot harus seperti manusia atau binatang, harus memiliki tangan misalnya, maka semakin panjanglah waktu tunggu kita untuk bisa bermain-main bersama robot. Belum lagi penguasaannya. Memandang teknologi sebagai sesuatu yang sempurna (baca: sulit dijangkau) justru memarginalkan kemanusiaan bangsa kita. Padahal teknologi merupakan karya manusia. Teknologi adalah salah satu solusi atas keterbatasan manusia.
Teknologi adalah ‘pembantu’ kita, itulah faktanya. Setiap jengkal yang ada di sekitar kita adalah produk teknologi. Bahkan saat ini serasa kita tak mampu hidup tanpa bantuan teknologi.
Jika demikian adanya, jangan sampai ada lagi yang terbengong-bengong ketika berhadapan dengan produk-produk teknologi. Apalagi yang sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Untuk itulah, tulisan ini mengawali kampanye saya mengajak semua orang terlibat dalam megaproyek mengantarkan anak-anak sebagai SDM masa depan yang kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan proyek ini tidak dapat digantungkan kepada satu dua orang, tidak juga sekelompok orang dari profesi tertentu. Pemerintah, industri, akademisi, kelompok masyarakat, sampai orang tua diharapkan bisa terlibat secara aktif di dalamnya.
Respon seperti itu bukan sesuatu yang aneh bagi saya. Karena seperti itu juga reaksi saya ketika seorang dosen memperkenalkan robot di kelas yang saya ikuti, sembilan tahun lalu. Dua tahun setelah itu, saya benar-benar ‘mengendarai’ robot pada sebuah perlombaan bergengsi, International Robot Contest di Osaka – Jepang. Saya di sana sebagai anggota tim yang mewakili Indonesia. Kami memang tidak meraih juara karena hanya mampu mengalahkan tim Amerika yang robotnya tidak kuat berjalan. Sementara robot kami hanya mampu menendang satu dari lima bola rugby ke gawang. Itupun meleset. Bola itu adalah satu-satunya persembahan kami sesaat sebelum robot rusak. Kerusakan yang disebabkan dia ‘terpaksa’ kami buat dengan barang rongsokan pada beberapa bagian. Waktu itu, terlalu mahal harga sebuah motor DC yang lengkap dengan gearboxnya selain cukup sulit juga mencarinya. Pengalaman ini membuka paradigma baru cara pandang saya terhadap teknologi.
Itulah yang kemudian membawa saya berada di sebuah kelas sekolah dasar untuk mengajak anak-anak bermain-main dengan teknologi pada Oktober 2001 yang lalu. Ada harapan besar dalam benak saya untuk mengakrabkan iptek kepada mereka. Setidaknya, mereka tidak terlambat untuk bengong begitu mendengar kata robot.
Lalu mengapa mereka harus melalui tahapan terheran-heran sebagaimana saya dulu? Mungkin juga sebagian besar masyarakat kita. Saya bawakan mobil-mobilan battery-powered yang bisa dikendalikan dan saya katakan kepada mereka inilah robot. Kemudian saya sebutkan peralatan rumah tangga seperti mesin cuci dan kipas angin yang mempunyai timer dan bisa ‘menoleh’ ke kiri dan kanan. Itulah robot. Atau pemanggang roti yang bisa mengeluarkan roti begitu matang. Itu juga robot. Bukankah robot itu seperti manusia atau binatang? Sanggah mereka. Tentu saja mereka tak salah.
Tetapi selama anak-anak kita masih berpikir bahwa robot harus seperti manusia atau binatang, harus memiliki tangan misalnya, maka semakin panjanglah waktu tunggu kita untuk bisa bermain-main bersama robot. Belum lagi penguasaannya. Memandang teknologi sebagai sesuatu yang sempurna (baca: sulit dijangkau) justru memarginalkan kemanusiaan bangsa kita. Padahal teknologi merupakan karya manusia. Teknologi adalah salah satu solusi atas keterbatasan manusia.
Teknologi adalah ‘pembantu’ kita, itulah faktanya. Setiap jengkal yang ada di sekitar kita adalah produk teknologi. Bahkan saat ini serasa kita tak mampu hidup tanpa bantuan teknologi.
Jika demikian adanya, jangan sampai ada lagi yang terbengong-bengong ketika berhadapan dengan produk-produk teknologi. Apalagi yang sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Untuk itulah, tulisan ini mengawali kampanye saya mengajak semua orang terlibat dalam megaproyek mengantarkan anak-anak sebagai SDM masa depan yang kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan proyek ini tidak dapat digantungkan kepada satu dua orang, tidak juga sekelompok orang dari profesi tertentu. Pemerintah, industri, akademisi, kelompok masyarakat, sampai orang tua diharapkan bisa terlibat secara aktif di dalamnya.
Paradigma Baru
Ada catatan penting saat kegilaan saya terhadap teknologi modern menjadi-jadi. Masih jelas dalam ingatan, Menperindag pada masa itu malah menyatakan bahwa penggunaan teknologi modern pada industri dan lapangan kerja umumnya akan menambah jumlah pengangguran. Saya tidak bermaksud mencari pembenaran terhadap kenyataan bahwa bangsa kita tertinggal. Karena saya yakin pernyataan itu bukanlah pernyataan Menperindag seorang. Bukan juga pemerintah semata. Harus kita akui ada sebagian dari masyarakat kita yang berusaha menolak kehadiran teknologi modern.
Itu terjadi satu dekade yang lalu.
Sementara kini, tak ada yang menolak kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan oleh teknologi. Kecuali segelintir orang yang masih merasa keberadaan teknologi modern hanya akan mengurangi ‘jatahnya’. Ketika setiap orang semakin sibuk dengan urusannya seolah tak cukup jika sehari hanya 24 jam, maka teknologi modern menjadi pilihan. Dimulai dari rice cooker yang kemudian menjadi magic jar, mesin cuci, komputer dan seterusnya. Bahkan, di negara-negara maju sudah dijual secara komersial robot untuk keperluan rumah tangga. Robot-robot itu untuk menggantikan tugas menyapu lantai, membersihkan karpet, memotong rumput, dan sebagainya.
Selain membeli robot komersial untuk keperluan sehari-hari, tak sedikit dari mereka yang membuat sendiri. Saya sungguh tercengang ketika menemukan bahwa sebagian besar dari mereka berusia sangat muda. Mereka masih setingkat SLTP dan SMA. Dalam benak saya, mereka pastilah sangat pintar dan kaya. Tetapi tidak! Karena semua itu mereka dapatkan dalam proses belajarnya, baik secara formal (sekolah) maupun nonformal (ekstrasekolah). Dengan kata lain, pihak sekolah dan lembaga ekstrasekolah termasuk lingkungan mendukungnya dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah ke sana. Bahkan pemerintahnya pun memberikan fasilitas yang cukup seperti program dan kurikulumnya melalui lembaga-lembaga milik pemerintah. NASA adalah salah satu contohnya. Dalam hal ini, pemerintah kita melalui Depdiknas telah menggulirkan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang rencananya secara resmi dimulai tahun depan. Kita lihat saja nanti. Jika disebut kayapun ternyata tidak juga. Bahan-bahannya produk dalam negeri sehingga terjangkau harganya. (Itulah mengapa saya sebutkan di awal bahwa beberapa bagian robot saya ‘terpaksa’ dibuat dari bahan rongsokan). Di samping juga banyak perusahaan dan lembaga swasta maupun pemerintah yang terlibat dengan menyediakan perangkat keras melalui kerjasama sponsorship antara sekolah dan perusahaan.
Tidak hanya cukup sampai di sini. Mereka juga mengadakan perlombaan secara rutin untuk semakin memacu kreativitas. Ada yang diadakan setiap liburan, ada yang tahunan seperti di negara tetangga kita, Singapura dengan SRG (Singapore Robot Games) yang telah dimulai beberapa tahun lalu.
Saatnya kita memandang teknologi sebagai kebutuhan. Lalu kita tindak lanjuti dengan upaya penanaman konsep dasar rekayasa teknologi kepada seluruh lapisan masyarakat. Lebih-lebih kepada anak-anak karena merekalah yang akan melanjutkan langkah besar kita kelak. Inilah semangat yang menggejolak dalam diri saya. Walaupun saya sadar betul akan keterbatasan yang ada.
Sederhana dan Mudah
Berangkat dari keterbatasan itu, sepertinya tak ada yang lebih tepat kecuali memulai dari yang sederhana dan mudah. Selain itu juga murah dan meriah dengan mengadakan kompetisi kecil-kecilan. Saya terinspirasi dengan kaidah tak tertulis yang saya dapatkan di Jepang sewaktu mengikuti IRC yaitu simply the best.
Tetapi menjadikan yang sederhana menjadi yang terbaik ternyata tidak mudah. Pelajaran ini saya dapatkan selama setahun saya mengajar ekstrakurikuler teknologi tepat guna kepada anak-anak sekolah dasar. Belum lagi memformulasikan teknologi modern yang demikian rumit menjadi sesederhana mungkin sesuai kemampuan berpikir anak. Tak mengherankan jika pada akhirnya program teknologi ini, yang lebih saya arahkan pada bidang elektronika dan robotika menjadi compang-camping.
Sampai pada suatu ketika saya temukan sebuah technology workshop untuk anak-anak di Singapura melalui internet. Saya pun terinspirasi untuk kedua kalinya dalam hal simply the best, karena mereka menggunakan perangkat yang sangat sederhana dan murah. Jika standar workshop serupa ini di Amerika menggunakan Lego (satu unit Lego Mindstorm seharga US $200), mereka memproduksi sendiri dengan bahan kayu dan gabus. Kesederhanaan bahan-bahan itu menjadi tantangan tersendiri ketika hendak menampilkannya di hadapan anak-anak. Tak jarang saya dapati komentar bernada sangsi begitu melihat kesederhanaan ini. Mungkinkah dari yang hanya seperti ini dapat menjadikan anak-anak itu pandai?
Robot dan Anak Kita
Saya mencoba temukan jawaban dari komentar sangsi beberapa orang tua murid, sekelompok guru, bahkan anak-anak sendiri. Salah satu ‘dugaan’ saya adalah selama ini kita hanya menjadi konsumen dari produk asing. Robot-robot pembantu di rumah sampai mainan anak-anak, bahkan mainan paling sederhana sekalipun sering kita borong dengan bangga.
Ada catatan penting saat kegilaan saya terhadap teknologi modern menjadi-jadi. Masih jelas dalam ingatan, Menperindag pada masa itu malah menyatakan bahwa penggunaan teknologi modern pada industri dan lapangan kerja umumnya akan menambah jumlah pengangguran. Saya tidak bermaksud mencari pembenaran terhadap kenyataan bahwa bangsa kita tertinggal. Karena saya yakin pernyataan itu bukanlah pernyataan Menperindag seorang. Bukan juga pemerintah semata. Harus kita akui ada sebagian dari masyarakat kita yang berusaha menolak kehadiran teknologi modern.
Itu terjadi satu dekade yang lalu.
Sementara kini, tak ada yang menolak kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan oleh teknologi. Kecuali segelintir orang yang masih merasa keberadaan teknologi modern hanya akan mengurangi ‘jatahnya’. Ketika setiap orang semakin sibuk dengan urusannya seolah tak cukup jika sehari hanya 24 jam, maka teknologi modern menjadi pilihan. Dimulai dari rice cooker yang kemudian menjadi magic jar, mesin cuci, komputer dan seterusnya. Bahkan, di negara-negara maju sudah dijual secara komersial robot untuk keperluan rumah tangga. Robot-robot itu untuk menggantikan tugas menyapu lantai, membersihkan karpet, memotong rumput, dan sebagainya.
Selain membeli robot komersial untuk keperluan sehari-hari, tak sedikit dari mereka yang membuat sendiri. Saya sungguh tercengang ketika menemukan bahwa sebagian besar dari mereka berusia sangat muda. Mereka masih setingkat SLTP dan SMA. Dalam benak saya, mereka pastilah sangat pintar dan kaya. Tetapi tidak! Karena semua itu mereka dapatkan dalam proses belajarnya, baik secara formal (sekolah) maupun nonformal (ekstrasekolah). Dengan kata lain, pihak sekolah dan lembaga ekstrasekolah termasuk lingkungan mendukungnya dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah ke sana. Bahkan pemerintahnya pun memberikan fasilitas yang cukup seperti program dan kurikulumnya melalui lembaga-lembaga milik pemerintah. NASA adalah salah satu contohnya. Dalam hal ini, pemerintah kita melalui Depdiknas telah menggulirkan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang rencananya secara resmi dimulai tahun depan. Kita lihat saja nanti. Jika disebut kayapun ternyata tidak juga. Bahan-bahannya produk dalam negeri sehingga terjangkau harganya. (Itulah mengapa saya sebutkan di awal bahwa beberapa bagian robot saya ‘terpaksa’ dibuat dari bahan rongsokan). Di samping juga banyak perusahaan dan lembaga swasta maupun pemerintah yang terlibat dengan menyediakan perangkat keras melalui kerjasama sponsorship antara sekolah dan perusahaan.
Tidak hanya cukup sampai di sini. Mereka juga mengadakan perlombaan secara rutin untuk semakin memacu kreativitas. Ada yang diadakan setiap liburan, ada yang tahunan seperti di negara tetangga kita, Singapura dengan SRG (Singapore Robot Games) yang telah dimulai beberapa tahun lalu.
Saatnya kita memandang teknologi sebagai kebutuhan. Lalu kita tindak lanjuti dengan upaya penanaman konsep dasar rekayasa teknologi kepada seluruh lapisan masyarakat. Lebih-lebih kepada anak-anak karena merekalah yang akan melanjutkan langkah besar kita kelak. Inilah semangat yang menggejolak dalam diri saya. Walaupun saya sadar betul akan keterbatasan yang ada.
Sederhana dan Mudah
Berangkat dari keterbatasan itu, sepertinya tak ada yang lebih tepat kecuali memulai dari yang sederhana dan mudah. Selain itu juga murah dan meriah dengan mengadakan kompetisi kecil-kecilan. Saya terinspirasi dengan kaidah tak tertulis yang saya dapatkan di Jepang sewaktu mengikuti IRC yaitu simply the best.
Tetapi menjadikan yang sederhana menjadi yang terbaik ternyata tidak mudah. Pelajaran ini saya dapatkan selama setahun saya mengajar ekstrakurikuler teknologi tepat guna kepada anak-anak sekolah dasar. Belum lagi memformulasikan teknologi modern yang demikian rumit menjadi sesederhana mungkin sesuai kemampuan berpikir anak. Tak mengherankan jika pada akhirnya program teknologi ini, yang lebih saya arahkan pada bidang elektronika dan robotika menjadi compang-camping.
Sampai pada suatu ketika saya temukan sebuah technology workshop untuk anak-anak di Singapura melalui internet. Saya pun terinspirasi untuk kedua kalinya dalam hal simply the best, karena mereka menggunakan perangkat yang sangat sederhana dan murah. Jika standar workshop serupa ini di Amerika menggunakan Lego (satu unit Lego Mindstorm seharga US $200), mereka memproduksi sendiri dengan bahan kayu dan gabus. Kesederhanaan bahan-bahan itu menjadi tantangan tersendiri ketika hendak menampilkannya di hadapan anak-anak. Tak jarang saya dapati komentar bernada sangsi begitu melihat kesederhanaan ini. Mungkinkah dari yang hanya seperti ini dapat menjadikan anak-anak itu pandai?
Robot dan Anak Kita
Saya mencoba temukan jawaban dari komentar sangsi beberapa orang tua murid, sekelompok guru, bahkan anak-anak sendiri. Salah satu ‘dugaan’ saya adalah selama ini kita hanya menjadi konsumen dari produk asing. Robot-robot pembantu di rumah sampai mainan anak-anak, bahkan mainan paling sederhana sekalipun sering kita borong dengan bangga.
Lebih parah lagi penerimaan terhadap produk asing tersebut tanpa dibarengi usaha untuk menguasai teknologinya. Akhirnya kita hanya sekedar menjadi pembeli dan pemakai. Dalam skala sebuah bangsa, yang demikian itu tentu saja sangat membahayakan eksistensinya beberapa kurun waktu yang akan datang.
Akhirnya, anak-anak kita, generasi harapan kita justeru menjadi robot-robot hidup di masanya kelak. Perhatikan Laws of Robotics yang dikemukakan oleh Isaac Asimov berikut.
Law Zero: A robot may not injure humanity, or, through inaction, allow humanity to come to harm.
Law One: A robot may not injure a human being or through inaction allow a human being to come to harm.
Law Two: A robot must obey the orders given it by human beings, except where such orders would conflict with the First Law.
Law Three: A robot must protect its own existence, as long as such protection does not conflict with the First or Second Laws.
Saya mengandaikan robot dalam hukum di atas sebagai anak-anak kita, dan human sebagai bangsa yang telah mandiri lebih dulu, maka apakah saya berlebihan? Secara tidak langsung, generasi kita terprogram untuk mengikuti saja arus kepentingan bangsa lain yang lebih kreatif dan mandiri dalam perekayasaan teknologi tanpa berani menolak karena ketergantungannya yang sedemikian besar.
Akankah kita membiarkannya? Saya yakin kita tak akan merelakannya. Karena itulah mari kita mulai program teknologi ini kepada anak-anak kita, tidak sekedar membelikan segala macam mainan apalagi tanpa disertai rangsangan untuk mempelajarinya. Semoga kelak mereka tidak menjadi robot tetapi sebaliknya, merekalah yang membuat robot-robot itu. Menjadikan mereka SDM yang kreatif dan mandiri serta bertanggung jawab adalah mimpi saya, dan tentu saja mimpi kita semua.
Akankah kita membiarkannya? Saya yakin kita tak akan merelakannya. Karena itulah mari kita mulai program teknologi ini kepada anak-anak kita, tidak sekedar membelikan segala macam mainan apalagi tanpa disertai rangsangan untuk mempelajarinya. Semoga kelak mereka tidak menjadi robot tetapi sebaliknya, merekalah yang membuat robot-robot itu. Menjadikan mereka SDM yang kreatif dan mandiri serta bertanggung jawab adalah mimpi saya, dan tentu saja mimpi kita semua.
-----------------------------------
Tulisan Arief A. Yudanarko di Tabloid CALTRON, Tahun I, nomor 4, Februari 2003.
Artikel ini ditulis pada awal perintisan sosialisasi kegiatan pengenalan teknologi di sekolah dasar yang dimulai sejak akhir 2001 di Surabaya.
Sumber : kampungrobot
0 comments:
Post a Comment